Artikel Terbaru

Tak Sengaja Siswa Ini Menumpahkan Hidangan Es buah di Meja Makan Mendikbud dan Gubernur, Tapi Lihat Apa Yang di Lakukan Pak Menteri...


Palu - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mendoakan dan memberi amplop berisi sejumlah uang kepada seorang siswa SMK di Kota Palu, Sulteng, gara-gara anak itu menumpahkan hidangan es buah di meja makan menteri dan gubernur dan nyaris membasahi pakaiannya.

"Belajar yang rajin ya nak. Semoga kamu bisa jadi manajer hotel nanti," kata Muhadjir sambil memeluk pundak Chaerun Nisa, seorang siswa SMK Negeri 1 Palu, di depan pintu masuk kantor Gubernur Sulteng di Palu, Minggu.

Nisa, tanpa sengaja menumpahkan es buah di meja makan saat Menteri didampingi Gubernur Longki Djanggola makan siang di ruang lobi kantor gubernur.

Es itu nyaris membasahi pakaian Menteri saat Nisa menghidangkan minuman dan menumpahkannya tanpa disengaja.

"Saya tidak sengaja. Saya kan bawa teh dan es buah untuk Pak Gubernur dan Pak Menteri. Tapi tumpah hampir kena Pak Menteri," cerita Nisa.

Saat kejadian itu, siswa kelas 12 Jurusan Akomodasi Perhotelan itu langsung gugup dan menangis karena takut. Apalagi saat kejadian itu kepala sekolah dan sejumlah guru langsung menatap ke arah Nisa.

Usai makan siang Menteri langsung menanyakan si Nisa. Dengan linangan air mata, Nisa menghadap Menteri dan Gubernur di tengah kerumunan tamu. Nisa langsung jabat tangan meminta maaf dan mencium tangan menteri dan gubernur.

Nisa tidak menyangka tiba-tiba didoakan oleh Menteri kelak menjadi manajer hotel dan langsung disodori sebuah amplop yang diketahui berisi sejumlah uang.

Nisa tak kuasa menahan rasa harunya karena bisa berjabat tangan dengan menteri dan gubernur dapat hadiah uang pula.

Menteri berkunjung ke Palu dalam rangka pencanangan Gerakan Kembali ke Sekolah (GKS) 1.000 Anak Harapan Bangsa (AHB) yang dicetuskan oleh Ketua Bunda Anak Harapan Bangsa Provinsi Sulawesi Tengah Zalzulmida Djanggola.

Untuk jamuan makan siang menteri dan rombongan dipercayakan ke SMK Negeri 1 Palu dengan melibatkan sejumlah siswa jurusan Akomodasi Perhotelan salah seorang di antaranya Chaerun Nisa.

Sumber: http://www.antaranews.com/berita/620506/mendikbud-doakan-siswa-yang-tumpahkan-hidangan-es-buah

Kisah Guru yang Menyabung Nyawa di Jembatan Gantung demi Mengajar


Lusia, seorang guru di SD Negeri Nomor 27 Sungai Manyan, Kecamatan Dedai, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, harus berjuang melawan derasnya air sungai ketika akan berangkat mengajar.

Perjuangan itu terekam dalam sebuah foto yang diunggah akun Facebook Askiman Sintang, yang tak lain adalah Wakil Bupati Kabupaten Sintang.

"Perjuangan seorang guru di pedalaman terpencil perhuluan kayan demi mencerdaskan kehidupan bangsa," demikian tulisan yang menyertai foto yang diunggah Askiman pada Sabtu (18/3/2017) lalu.

Dalam foto itu, terlihat sosok Lusia yang mengenakan seragam batik berwarna putih sedang meniti jembatan yang terbuat dari sebatang bambu dengan beberapa tiang sebagai pegangan.

Kepada Kompas.com, Askiman menuturkan, sosok Lusia dalam foto yang diunggahnya tersebut mulai mengajar dari tahun 2002 sebagai guru kontrak di daerah hingga tahun 2006.

"Kemudian pada tahun 2007 ia menjadi CPNS dan diangkat sebagai PNS pada tahun 2009 dengan golongan IIIb," ujar Askiman mengawali ceritanya.

Sekolah yang menjadi tempat Lusia mengajar memiliki 6 tenaga pengajar, termasuk kepala sekolah.

"Sebetulnya jarak dari rumah Lusia ke sekolah tidak terlalu jauh, kendalanya kalau banjir ya melewati sungai itu, selalu airnya di atas jembatan yang ada, jembatan itu sudah lumayan lama dibangun mungkin sekitar 20 tahun lalu," ungkap Askiman menuturkan apa yang disampaikan oleh Lusia.

Lantaran tidak ada akses jembatan, ketika banjir, masyarakat di sana pun kemudian membuat titian alakadarnya supaya bisa melewati sungai itu. Fasilitas di sekolah itu, kata Askiman, masih kekurangan buku pelajaran, WC sekolah dan pagar.

"Ada juga teman guru Lusia lainnnya dan anak yang harus jalan kaki ke sekolah dengan jarak sekitar 3 kilometer dengan kondisi jalan dan jembatan yang parah," ujar Askiman yang dilantik sebagai wakil bupati Sintang periode 2006-2021 pada 17 Februari 2016 yang lalu.

Lokasi daerah tersebut cukup jauh dari ibu kota kabupaten dan masih terisolasi.

Askiman menegaskan, pihak pemerintah daerah akan berupaya mangatasinya secara perlahan namun pasti, karena selama ini dianggap terabaikan.

Sumber: http://regional.kompas.com/read/2017/03/20/14475271/kisah.guru.yang.menyabung.nyawa.di.jembatan.gantung.demi.mengajar

Perjuangan Bu Ade, Guru Honorer di Pelosok Sukabumi


Jalanan terjal dan berlumpur selalu menjadi lintasan Ade Irma setiap paginya. Sudah 11 tahun, perempuan 30 tahun ini mengabdikan diri sebagai guru honorer di SD Sukasari, Kampung Cilampahan, Tegal Buleud, Sukabumi, Jawa Barat.

Sempat 4 tahun ia menetap di kampung Cilampahan, namun pindah karena ikuti suami. Tapi, ia tetap memilih untuk mengajar meski harus pulang pergi 12 kilo meter setiap hari. Baginya jarak bukan halangan.

Bentang alam yang berkelok dan dipenuhi semak belukar menjadi tantangan para guru setiap hari. Jika hujan mereka harus memutar haluan untuk mencari jalan lain atau kembali pulang dan tidak mengajar. Miris!

“Kadang-kadang kan kalo motor matic lupa rem depan dipudunan lagi itunya, jatuhnya. Licinnya waktu kemarau sama hujan kan beda. Waktu kemarau banyak tanah-tanah yang ngerosot. Itu saya rem depan. Yaudah terbalik motor. Untungnya ada yang bantuin,” kata Ade Irma.

Sebagai lulusan sarjana Pendidikan Guru Sekolah Dasar Ia pernah dua kali ikut tes calon pegawai negeri tapi selalu gagal. Tapi Ade tidak menyerah. Sabar menjadi kunci bagi guru yang mengajar di kelas tiga ini.

Honor yang diterimanya hanya 300 ribu rupiah setiap bulan. Dulu, ia masih mendapatkan tunjangan guru daerah terpencil karena gelar sarjana yang disandang. Namun, sejak Sukabumi melepaskan status sebagai daerah terpencil pada Januari 2016 lalu, tunjangan itu pun hilang.


Kurangnya pembangunan di Kampung Cilampahan berimbas pada kulitas pendidikan. Tidak banyak guru yang bersedia ditempatkan di kampung yang memiliki waktu tempuh 4 jam dari pusat Kabupaten Sukabumi ini.

Tapi beda dengan Ade. Rasa sayangnya pada anak-anak Kampung Cilampahan yang membuatnya tetap bertahan. Ade tidak hanya mengajar, tetapi juga menyiapkan berbagai kebutuhan pendukung kegiatan belajar. Dananya dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Sebulan sekali ia harus menempuh perjalanan panjang ke pusat kota untuk belanja buku, pensil, bolpoin hingga penghapus. Pernak-pernik ini bagi sebagian orang gampang ditemukan. Tapi berbeda dengan kondisi di Kampung Cilampahan.




Mayoritas masyarakat di kampung ini bekerja di perkebunan karet milik sebuah perusahaan. Banyak pula yang memilih berprofesi sebagai petani dan pembuat gula merah. Pendapatan mereka mencapai Rp 1 juta sampai Rp 2 juta per bulan.

Jumlah ini dinilai sangat mencukupi bagi mereka. Meskipun demikian, ada hal itu menjadi kecemasan bagi Ade yaitu pendidikan belum menjadi prioritas utama warga desa. Wajar saja, karena melihat kondisi lingkungan yang masih serba terbatas.

Status sebagai guru honorer tak membuat mereka berkecil hati. Mereka ingin terus menjadi guru luar biasa demi masa depan anak-anak. Bukan hanya guru yang mengejar status dan pangkat semata.

Sumber: https://netz.id/news/2017/01/06/00316/1010050117/perjuangan-bu-ade-guru-honorer-di-pelosok-sukabumi