Membangun Asa Lewat Sekolah Garis Depan (SGD)



Upaya mengejar pendidikan layak di daerah 3T (Terluar, Terdepan, dan tertinggal) sering kali bak berhadapan dengan tembok tebal. 

Di banyak daerah, sukarnya akses jalan dan buruknya kondisi sekolah masih menjadi masalah sehari-hari. Siswa terpaksa harus berjalan jauh hanya untuk pergi ke sekolah. Sering terdengar siswa belajar di sekolah berlantaikan tanah, atapnya rusak sehingga selalu bocor saat hujan. Belum lagi langkanya buku dan alat pendidikan yang memadai.

Saat siswa tiba di sekolah, para guru belum tentu hadir di dalam kelas. Pengawasan yang kurang dan buruknya kondisi infrastruktur ikut mempengaruhi kondisi langka guru seperti ini. Akibatnya siswa di daerah tertinggal merasakan ketimpangan kualitas pendidikan yang pada akhirnya berpengaruh pada performa siswa.

Selain infrastruktur, keragaman kondisi sosial, ekonomi, dan budaya juga mempengaruhi penyelenggaraan pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan melalui satuan pendidikan yang
ada selama ini dianggap belum memberikan kesempatan untuk mengangkat konteks sosial yang beragam. Satuan pendidikan yang ada cenderung dicirikan oleh penyeragaman karakteristik
sekolah. Kecenderungan tersebut menjadikan layanan pendidikan yang ada kurang sesuai dengan karakteristik masyarakat yang dilayani dan lingkungan tempat satuan pendidikan tersebut berada.

Nawacita ketiga, “membangun Indonesia dari pinggiran”, menumbuhkan harapan baru menyangkut pelayanan pendidikan di daerah 3T. Kondisi geografis tak boleh menjadi halangan bagi anak Indonesa untuk mendapatkan pendidikan berkualitas. Berlandaskan Nawacita ini, pada tahun 2016, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mencanangkan pembangunan Sekolah Garis Depan (SGD) yang merupakan sekolah rintisan. SGD berupaya mewujudkan keragaman penyediaan satuan pendidikan dengan mempertimbangkan dan mengakomodasi keragaman konteks sosial yang berbeda. Dalam pembangunannya, SGD tidak hanya akan berfokus pada pembangunan sarana dan prasarana.SGD juga mencoba menerapkan model pembelajaran yang sesuai dengan konteks sosial dan lingkungan tempat sekolah tersebut berada. 

Pengertian “pinggiran” dalam Nawacita ketiga adalah pinggiran secara geografis dan pinggiran
secara sosio-ekonomis. Maka, lokasi SGD dipilih berdasarkan kriteria berikut:
  1. Daerah 3T atau,
  2. tempat bersejarah dalam meraih kemerdekaan Indonesia atau, 
  3. daerah perkotaan yang merupakan gambaran ‘terpinggir’ dari segi sosial ekonomi.
Foto: kemdikbud
Berdasarkan kriteria di atas, tim melakukan verifikasi ke lapangan agar benar-benar tepat
sasaran dalam pemberian bantuan. Dari proses tersebut, untuk tahun 2016 terpilihlah 113 sekolah yang akan dikembangkan menjadi SGD yang tersebar di 42 Kabupaten di Indonesia. Sekolah Garis Depanini terdiri dari sekolah yang sudah ada kemudian direvitalisasi, dan pembangunan unit sekolah baru.

SGD direncanakan untuk benar-benar mengakomodasi keberagaman kondisi sosial demografi Indonesia. Mulai dari aspek sarana dan prasarana, guru dan model pembelajaran, didesain untuk menjawab kebutuhan anak usia sekolah di tempat tersebut.

Diskusi terpumpun 

Dalam persiapannya, sejumlah pegiat pendidikan memenuhi undangan dalam diskusi terpumpun terkait dengan proses belajar di daerah yang akan dibangun SGD. Diskusi ini diadakan oleh Paska, ACDP dan Puslitjak di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Diskusi terpumpun berlangsung pada 9 Juni 2016 dengan mengundang David C. Harding, Senior Advisor ACDP, Direktur Eskekutif Indonesia Mengajar Evi Trisna, ketua tim peneliti studi tentang reality check+ Dee Jupp , KepalaSekolah Masjid Terminal (Master) Depok Nurrohim, Anindita, perwakilan dari Yayasan Sokola Rimba, dan John Rahail, pendiri Sekolah Kampung yang berbasis di Papua. 


Dalam acara tersebut, keenam pegiat pendidikan ini membagikan pengalamannya dalam mendirikan 
sekolah dan menjalankan proses belajar-mengajar di daerah 3T maupun daerah yang terpinggirkan 
secara sosial ekonomi.  Mereka  bersama tim SGD Kemendikbud terlibat aktif membahas prinsip-prinsip yang akan diterapkan dalam pembangunan SGD. 

Siswa akan lebih cepat menyerap ilmu jika pembelajaran diadaptasikan dalam konteks yang familiar untuk anak


Hasil dari Diskusi Terpumpun menghasilkan sejumlah prinsip berikut:
  1. Mengadaptasikan kontekstualitas lokal;
  2. mengaplikasikan Pembelajaran Abad 21 dan Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan (ESD);
  3. mengaplikasikan manajemen yang transparan dan akuntabel;
  4. mewujudkan guru yang andal dalam mengajar dan menyesuaikan dengan konteks lokal;
  5. sekolah yang aman dan ramah anak;
  6. sekolah adalah Organisasi Pembelajar;
  7. kepala sekolah harus mempunyai kemampuan manajemen sekolah dan kepemimpinan yang bermutu;
  8. sarana dan prasarana yang sesuai dengan konteks lokal.
Hasil Diskusi terpumpun di atas menekankan pentingnya konteks daerah tempat SGD tersebut berada dalam meningkatkan efektivitas belajar siswa. Siswa akan lebih cepat menyerap ilmu jika pembelajaran diadaptasikan dalam konteks yang familiar untuk anak. Walau begitu, proses belajar mengajar juga harus mengedepankan pengembangan kualitas Abad ke-21 agar siswa di daerah SGD dapat bersaing dengan siswa yang berada di kota. Kualitas guru dan kepala sekolah juga menjadi elemen penting di Sekolah Garis Depan. Guru harus mampu mendayagunakan bahan lokal sebagai bagan mengajar di sekolah. Kepala Sekolah juga harus mampu mengatur sekolah sehingga menjadi aman dan nyaman bagi anak.


Walau berada di daerah pinggiran, SGD harus berpeluang mengaplikasikan model Pembelajaran Abad XXI
Dari segi sarana dan prasarana, Kemendikbud melibatkan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) dalam penyelenggaraan Sayembara Desain Arsitektur untuk satu SGD di Sorong Selatan, Papua Barat. Pada lokasi tersebut nantinya akan dibangun Unit Sekolah Baru (USB) SLB dan SMA sesuai kebutuhan daerah setempat. Sayembara Desain SGD dipilih sebagai contoh keterlibatan publik dalam pendidikan. Desain sekolah yang dibuat peserta haruslah bisa merepresentasikan kekhasan kondisi di Sorong Selatan. Pembangunan SGD di lokasi lain pun disesuaikan dengan kemampuan daerah dalam mengimplementasikan pembangunan. Namun, pelaksanaannya tetap tidak boleh melupakan standar pelayanan minimal (SPM) yang terkait dengan sarana dan prasarana sekolah, agar kualitas dapat terus terjaga. Selain Sayembara, untuk Direktorat Pembinaan SD melibatkan desain yang dibuat siswa SMK. Hal ini juga untuk membuktikan partisipasi siswa SMK Indonesia tidak kalah dengan arsitek lulusan universitas.

Sesuai dengan prinsip di atas, model pembelajaran SGD juga menjadi aspek penting dalam
pembangunan sekolah. Kurikulum yang digunakan adalah Kurikulum 2013. Hasil diskusi terpumpun
yang dilakukan Paska, ACDP dan Puslitjak, menemukan bahwa konteks daerah sangat penting
dalam membantu kelancaran proses belajar-mengajar. Berdasarkan hasil diskusi ini, Kurikulum 2013
diterapkan secara fleksibel sesuai keberagaman konteks daerah. Guru bisa menyesuaikan kompetensi yang ingin dicapai dengan kondisi wilayah sekolah. Sebagai contoh, dalam mengajarkan materi rantai
makanan, siswa yang sekolahnya dekat pantai dapat melihat langsung contoh rantai makanan biota laut.

Walau berada di daerah pinggiran, SGD harus berpeluang mengaplikasikan model Pembelajaran Abad XXI. Kemendikbud memberikan dukungan sarana dan prasarana melalui penyediaan komputer 
di sekolah. Kemendikbud juga bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) dan mengusulkan agar 113 SGD ini menjadi penerima bantuan akses internet di sekolah. 

SGD juga tidak boleh melupakan faktor kompetensi guru. Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan mengadakan pelatihan pembelajaran berbasis TIK  bagi 1.800 guru yang berasal dari SGD. Nantinya, mereka dapat memanfaatkan sarana internet di sekolah untuk meningkatkan kualitas proses belajar mengajar. 

Dengan peningkatan ketiga aspek di atas, SGD diharapkan juga dapat menjadi motor penggerak pendidikan di lingkungan sekitarnya. Sekolah-sekolah di sekitar bisa mencontoh pembelajaran yang dilakukan di SGD. Guru-guru SGD diharapkan juga bisa menjadi contoh (role model) dan berperan dalam meningkatkan kompetensi guru sekolah lain. Harapannya, mereka mau terlibat aktif dalam forum diskusi dengan guru-guru lain, baik melalui forum Kelompok Kerja Guru (KKG) maupun Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). 

Kehadiran SGD diharapkan mampu memperkecil ketimpangan pendidikan yang masih terdapat 
di berbagai daerah. Kehadiran SGD diharapkan juga mampu mewujudkan peningkatan kualitas SDM Indonesia.

Sumber: KILASAN KINERJA 2016 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan