Persoalan Guru Kian Serius


Diperlukan keseriusan untuk membuat regulasi yang berpihak kepada guru di pedalaman agar mereka siap mengabdi sepenuh hati. Saatnya juga memberdayakan guru dari warga lokal.


JAKARTA -  Keberadaan guru di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal atau 3T tidak hanya kurang secara kuantitas, tetapi juga kualitas. Mereka yang cenderung meninggalkan lokasi tugas terutama dari kalangan kepala sekolah dan guru yang sudah berstatus pegawai negeri sipil.

”Penataan distribusi guru makin mendesak dan dalam hal ini diperlukan juga komitmen pemerintah daerah,” kata Staf Ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Hubungan Pusat dan Daerah James Modouw, di Jakarta, akhir pekan lalu. 

Persoalan ketidakhadiran guru di daerah 3T antara lain terjadi di Kabupaten Asmat, Papua. Guru yang merupakan putra-putri asli daerah tersebut cenderung meninggalkan tempat mengajar. Padahal, mereka berstatus pegawai negeri sipil (PNS). Menurut pemberitaan Kompas (26/1), keberadaan guru-guru di pedalaman bukan hanya dimaksudkan untuk menjalankan tugas formal mendidik di sekolah, melainkan juga menjadi contoh teladan dalam perilaku pola hidup yang sehat.

James menambahkan, pemerintah terus berupaya mengatasi masalah ketidakhadiran guru di daerah 3T di Papua dan Papua Barat. Sekitar tahun 2005, saat menjadi Kepala Dinas Pendidikan Papua, kata James, dirinya menemukan ketidakhadiran guru di pedalaman bisa lebih dari 50 persen. 

”Persoalannya kompleks, bukan sekadar urusan pendidikan. Ada perubahan sosial juga yang memengaruhi komitmen guru dalam mengabdi sehingga tidak lagi penuh berorientasi pada kemanusiaan. Tampaknya terjadi pergeseran,” kata James. Menurut James, infrastruktur di daerah 3T, termasuk pendidikan, memang harus terus ditingkatkan agar masyarakat, termasuk guru, tidak merasa terisolasi dari kehidupan luar yang berkembang pesat. 

Kehidupan di perkotaan menggoda mereka untuk tidak lagi merasa nyaman di pedalaman karena keterbatasan fasilitas. ”Pendekatan kepada guru dengan memberikan motivasi, membangkitkan etika profesi sebagai guru, harus terus dilakukan. Di Papua, kegiatan pemberdayaan melibatkan lembaga agama dan tokoh agama cukup efektif untuk menggugah kembali motivasi melayani masyarakat,” ujarnya

James mengatakan, sebenarnya sistem untuk membuat guru berkomitmen dalam menjalankan tugasnya sudah dibuat lewat Data Pokok Pendidikan (Dapodik). Guru yang tidak memenuhi jam mengajar sesuai ketentuan tidak mendapatkan tunjangan profesi guru. Kesungguhan daerah Secara terpisah, Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia Merauke, Papua, Sergius Womsiwor, mengatakan, dukungan pemerintah pusat dari dana dan aturan untuk kemajuan Papua sebenarnya sudah baik. 

Tinggal pemerintah daerah perlu sungguh-sungguh menunjukkan komitmennya memprioritaskan pendidikan dan kesehatan sebagai layanan dasar. Terkait masalah guru, kata Sergius, pembangunan infrastruktur pendidikan dan kesejahteraan guru di pedalaman Papua harus sejalan. Pemilihan guru saatnya tak lagi sekadar mensyaratkan karakter dan sikap mental untuk mengabdi di daerah sulit, tetapi juga diiringi dengan dukungan kesejahteraan dan pembinaan karier yang baik. 

Harus ada keberanian untuk membuat regulasi yang berpihak kepada guru di pedalaman agar mereka mau mengabdi sepenuh hati. ”Sebagai contoh guru yang mengajar di daerah pedalaman untuk melayani anak-anak suku Korowai, Kabupaten Mappi, Papua, dibayar Rp 3 juta per bulan, tetapi dipotong pajak. Daerah mereka sangat sulit, tapi gaji yang didapat sama dengan guru di Kota Jayapura yang tinggal di kota,” kata Sergius yang juga Kepala Sekolah Terintegrasi Wasur, Merauke. 

Menurut Sergius, penempatan guru garis depan (GGD) dari daerah lain juga perlu dievaluasi. ”Harus ada semangat memberdayakan guru lokal supaya mereka semakin berkualitas disertai komitmen untuk memprioritaskan mereka dalam pengangkatan,” kata Sergius. Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hamid Muhammad mengakui, tantangan pendidikan di daerah 3T terkait dengan ketersediaan guru, tingkat kehadiran guru, dan fasilitas belajar yang tak layak. 

”Untuk tingkat kehadiran guru akan dipantau dengan presensi online (dalam jaringan). Sekarang sedang disiapkan. Jika sudah stabil bisa dimulai pada Juli nanti atau paling lambat Januari 2019,” kata Hamid. Sementara di daerah yang belum terjangkau jaringan internet, ujar Hamid, presensi dilakukan secara offline. Namun, data kehadiran di-input dalam sistem seperti pola input Dapodik setiap minggu atau per bulan.

Sumber: https://www.pressreader.com/indonesia/kompas/20180129/281771334623856